Kualitas
politikus Katolik di lembaga legislatif (DPR, DPD, DPRD), belakangan
ini dianggap merosot. Parameternya adalah, jika dibandingkan dengan
politikus non Katolik, juga dengan politikus Katolik, hasil kaderisasi
van Lith dan terutama Beek.
Tahun
1960, ada ketegangan antara Kasimo, Ketua Partai Katolik dengan Uskup
Semarang, Mgr. Albertus Soegijapranata SJ. Setelah Dekrit Presiden 5
Juli 1959, Bung Karno membubarkan Konstituante, lalu membentuk Kabinet
Kerja I. Partai Komunis Indonesia (PKI) diikutkan di dalamnya. Kasimo
berpendapat, ideologi PKI yang ateis bertentangan dengan ajaran Katolik,
hingga ia memutuskan tidak ikut dalam kabinet. Bung Karno marah. Ketika
itu, hanya Partai Katolik yang berani tegas menentang PKI.
Uskup Jakarta, Mgr. Djajasepoetra SJ dan Uskup Purwokerto, Mgr. Schomakers
MSC membuat pernyataan, bahwa ikut tidaknya Partai Katolik dalam
pemerintahan, menjadi urusan intern partai itu sendiri. Sementara Mgr.
Soegijapranata tidak setuju dengan langkah Kasimo. Ia mengirim wakil
golongan Katolik, untuk duduk di Dewan Nasional. Ketegangan berakhir,
setelah Kasimo mengundurkan diri sebagai ketua partai, dan digantikan
Frans Seda.
Sebagai
Ketua Partai Katolik, Frans Seda menjadi Menteri Perkebunan pada
Kabinet Kerja IV (1963 -1964), Dwikora I (1964 - 1966), dan Dwikora II
(Februari - Maret 1996). Kemudian Menteri Pertanian pada Kabinet Dwikora
III (Maret - Juli 1966); Menteri Keuangan Kabinet Ampera I (1966 -
1967), dan Ampera II (1967 -1968); serta Menteri Perhubungan pada
Kabinet Pembangunan I (1968 -1973). Tahun 1973 Frans Seda menjadi Dubes
RI untuk Belgia dan Luksemburg, merangkap perwakilan RI untuk Masyarakat
Ekonomi Eropa.
Ignatius
Joseph Kasimo Hendrowahyono (1900-1986), dan Albertus Soegijapranata SJ
(1896 - 1963), adalah kader Franciscus Gregorius Josephus van Lith SJ
(1863 - 1926).
Sebagai
Pastor Belanda, Van Lith dengan tegas mengatakan bahwa Katolik tidak
identik dengan agama kaum penjajah. Frans Seda (Franciscus Xaverius
Seda, lahir 4 Oktober 1926), bukan kader van Lith, meski ia sekolah MULO
dan HIK di Muntilan. Tokoh politik sesudah Frans Seda, kebanyakan kader
Josephus Gerardus Beek SJ (1917 - 1983).
Teman-teman
Jesuit, biasa memanggilnya Joopie Beek. Sama dengan Kasimo, ia seorang
anti komunis sejati. Peran kaderisasi Beek, biasanya selalu dikaitkan
dengan Khalwat Sebulan (Khasebul). Orang-orang menyebutnya Kaderisasi
Sebulan, atau Kawan Sebulan, yang diselenggarakan di Wisma Samadi,
Klender, Jakarta Timur (1960 - 1970-an). Padahal, kader-kader utama
Beek, sebenarnya justru dihasilkan dari Asrama
Mahasiswa Realino, Yogyakarta (1950-an), Kongregasi Maria, di Jakarta
(1960-an), dan melalui Ikatan Buruh Pancasila (1957 - 1973).
* * *
Di
Realino, Beek adalah "Bapak Asrama". Di Kongregasi Maria, ia moderator.
Di Buruh Pancasila, statusnya penasehat, dan tahun 1960-an jabatan itu
diserahkannya ke Johanes Baptista Dijkstra SJ (1911 - 2003). Dalam
Khasebul, Beek kembali berperan intens menggembleng kadernya. Kualitas
anak didik Beek, rata-rata di atas kader politik era 1960 - 1970-an pada
umumnya, dan terbanyak sebenarnya justru terjun di bidang non politik.
Sebab kader Beek yang menjadi imam, juga cukup banyak.
Awal
tahun 1970, Partai Katolik masih ada, tetapi Beek lebih banyak
mendorong kadernya untuk aktif di Golkar. Pemilu 1971, masih diikuti
oleh 10 partai, termasuk Partai Katolik. Baru tahun 1973, 10 parpol
peserta Pemilu 1971, berfusi menjadi tiga partai. Partai Katolik, Partai
Nasional Indonesia (PNI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
(IPKI), Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Partai Kristen Indonesia
(Parkindo), berfusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Beda
dengan van Lith, informasi tentang Beek, selama ini sangat minim.
Banyak pihak menduga informasi itu sengaja disembunyikan. Padahal
sebagai anggota Serikat Jesus, informasi tentang Beek sama terbukanya
dengan anggota lainnya. Bulan September ini, genap 25 tahun Beek
meninggal. Para "murid" yang tersebar di banyak tempat, berinisiatif menerbitkan biografi Beek, dan menyelenggarakan acara sederhana di Girisonta, Kabupaten Semarang, tempat ‘Sang Guru" dimakamkan.
(F. Rahardi, Wartawan & Penyair)
No comments:
Post a Comment