Thursday, January 10, 2013

Kader Politik Van Lith dan Beek

Kualitas politikus Katolik di lembaga legislatif (DPR, DPD, DPRD), belakangan ini dianggap merosot. Parameternya adalah, jika dibandingkan dengan politikus non Katolik, juga dengan politikus Katolik, hasil kaderisasi van Lith dan terutama Beek.

Tahun 1960, ada ketegangan antara Kasimo, Ketua Partai Katolik dengan Uskup Semarang, Mgr. Albertus Soegijapranata SJ. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Bung Karno membubarkan Konstituante, lalu membentuk Kabinet Kerja I. Partai Komunis Indonesia (PKI) diikutkan di dalamnya. Kasimo berpendapat, ideologi PKI yang ateis bertentangan dengan ajaran Katolik, hingga ia memutuskan tidak ikut dalam kabinet. Bung Karno marah. Ketika itu, hanya Partai Katolik yang berani tegas menentang PKI.

Uskup Jakarta, Mgr. Djajasepoetra SJ dan Uskup Purwokerto, Mgr.  Schomakers MSC membuat pernyataan, bahwa ikut tidaknya Partai Katolik dalam pemerintahan, menjadi urusan intern partai itu sendiri. Sementara Mgr. Soegijapranata tidak setuju dengan langkah Kasimo. Ia mengirim wakil golongan Katolik, untuk duduk di Dewan Nasional. Ketegangan berakhir, setelah Kasimo mengundurkan diri sebagai ketua partai, dan digantikan Frans Seda.

Sebagai Ketua Partai Katolik, Frans Seda menjadi Menteri Perkebunan pada Kabinet Kerja IV (1963 -1964), Dwikora I (1964 - 1966), dan Dwikora II (Februari - Maret 1996). Kemudian Menteri Pertanian pada Kabinet Dwikora III (Maret - Juli 1966); Menteri Keuangan Kabinet Ampera I (1966 - 1967), dan Ampera II (1967 -1968); serta Menteri Perhubungan pada Kabinet Pembangunan I (1968 -1973). Tahun 1973 Frans Seda menjadi Dubes RI untuk Belgia dan Luksemburg, merangkap perwakilan RI untuk Masyarakat Ekonomi Eropa.

Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono (1900-1986), dan Albertus Soegijapranata SJ (1896 - 1963), adalah kader Franciscus Gregorius Josephus van Lith SJ (1863 - 1926).

Sebagai Pastor Belanda, Van Lith dengan tegas mengatakan bahwa Katolik tidak identik dengan agama kaum penjajah. Frans Seda (Franciscus Xaverius Seda, lahir 4 Oktober 1926), bukan kader van Lith, meski ia sekolah MULO dan HIK di Muntilan. Tokoh politik sesudah Frans Seda, kebanyakan kader Josephus Gerardus Beek SJ (1917 - 1983).
Teman-teman Jesuit, biasa memanggilnya Joopie Beek. Sama dengan Kasimo, ia seorang anti komunis sejati. Peran kaderisasi Beek, biasanya selalu dikaitkan dengan Khalwat Sebulan (Khasebul). Orang-orang menyebutnya Kaderisasi Sebulan, atau Kawan Sebulan, yang diselenggarakan di Wisma Samadi, Klender, Jakarta Timur (1960 - 1970-an). Padahal, kader-kader utama Beek, sebenarnya justru dihasilkan dari  Asrama Mahasiswa Realino, Yogyakarta (1950-an), Kongregasi Maria, di Jakarta (1960-an), dan melalui Ikatan Buruh Pancasila (1957 - 1973).
* * *

Di Realino, Beek adalah "Bapak Asrama". Di Kongregasi Maria, ia moderator. Di Buruh Pancasila, statusnya penasehat, dan tahun 1960-an jabatan itu diserahkannya ke Johanes Baptista Dijkstra SJ (1911 - 2003). Dalam Khasebul, Beek kembali berperan intens menggembleng kadernya. Kualitas anak didik Beek, rata-rata di atas kader politik era 1960 - 1970-an pada umumnya, dan terbanyak sebenarnya justru terjun di bidang non politik. Sebab kader Beek yang menjadi imam, juga cukup banyak.

Awal tahun 1970, Partai Katolik masih ada, tetapi Beek lebih banyak mendorong kadernya untuk aktif di Golkar. Pemilu 1971, masih diikuti oleh 10 partai, termasuk Partai Katolik. Baru tahun 1973, 10 parpol peserta Pemilu 1971, berfusi menjadi tiga partai. Partai Katolik, Partai Nasional Indonesia (PNI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo), berfusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Beda dengan van Lith, informasi tentang Beek, selama ini sangat minim. Banyak pihak menduga informasi itu sengaja disembunyikan. Padahal sebagai anggota Serikat Jesus, informasi tentang Beek sama terbukanya dengan anggota lainnya. Bulan September ini, genap 25 tahun Beek meninggal. Para "murid" yang tersebar di banyak tempat, berinisiatif menerbitkan biografi Beek, dan menyelenggarakan acara sederhana di Girisonta, Kabupaten Semarang, tempat ‘Sang Guru" dimakamkan.

(F. Rahardi, Wartawan & Penyair)
SUMBER: Majalah HIDUP No. 36 - 7 September 2008

No comments:

Post a Comment