Thursday, January 10, 2013

Kader Katolik Menurut Romo Beek

Ditulis oleh : J. Soejati Djiwandono PhD

Dalam rangka memperingati dua puluh lima ta­hun meninggalnya Romo Joseph Beek SJ (1917-1983), ada rencana menerbitkan beberapa tulisan mengenai beliau dan karya-karyanya.
Tulisan di bawah mi dimaksudkan untuk melengkapi apa yang saya mengerti dan saya ingat sebagai pelaksana­an praktis proses kaderisasi oleh Romo Beek.

Kader: Binatang macam apa itu?

Dalam sejarah, apa yang disebut “kader”, kata dalam bahasa Perancis cadre, mengacu pada staf pimpinan per­manen pada suatu pusat latihan militer yang melatih para calon pasukan. Dengan begitu, mereka dapat membentuk satuan-satuan baru. Dengan kata lain, cadre merupakan korps militer profesional yang dipelihara dalam masa damai sebagai basis militer yang diperlukan dalam masa peperangan. Pada zaman itu, sebelum mapannya negara-­bangsa, negara tidak memiliki tentara nasional yang permanen, melainkan membentuk tentara bayaran yang bersifat kosmopolitan, dalam arti dan kebangsaan apa pun, untuk keperluan peperangan. Tetapi, pasukan ten­tara seperti itu dibubarkan setelah perang usai karena mahal pemeliharaannya.

Awal keterlibatan

Saya berangkat ke Selandia Baru untuk mengikuti kur­sus menjadi guru bahasa Inggris di Victoria University di Wellington tahun 1961 dengan syarat dan pemerintah Indonesia waktu itu, bahwa sekembali saya ke Tanah Air saya harus menjadi pegawai negeri. Saya berhasil lulus dengan nilai terbaik dan mendapatkan tawaran beasiswa untuk mencapai BA di Universitas Otago, Dunedin. Di situ saya mengambil Political Science dan Bahasa Russia dan berhasil mencapai gelar BA. Tahun 1966, dalam per­jalanan pulang ke Indonesia, saya mampir di Kedutaan Indonesia di Australia dan mengatakan bahwa saya tidak akan memenuhi janji saya untuk menjadi pegawai nege­ri. Jawaban yang saya peroleh membesarkan hati saya. Mereka berkata: “Saudara sudah terlalu lama di luar nege­ri. Orang di Jakarta sudah lupa tentang syarat itu!”

Oleh karenanya, satu dua hari sekembali saya dari New Zealand, saya diantar oleh adik saya Soedradjad untuk dikenalkan pada Saudara J.B. Oetoro untuk bersama dia menemui Romo Beek di kantornya di Jl Gunung Sahari 88. Saya ingin bergabung dalam proyek Romo Beek.

Kadas

Sebelum kaderisasi sebulan (kasebul) dimulai, terlebih dahulu diadakan kaderisasi dasar (kadas) dalam waktu seminggu, yang dihadiri oleh kurang lebih 20 orang, dari pelbagai kota ini dipimpin oleh Romo Beek sendiri dengan beberapa~orang. Saya memimpin kadas sendiri beberapa kali, di Bogor dengan tiga orang termasuk Se­orang pastor, dan di Semarang dengan seorang teman (Almarhum Saudara Haksoro) ditemani oleh pastor paroki.
Materi kadas meliputi masalah-masalah dasar seperti demokrasi, ormas, dan orpol. Peserta-peserta kasebul dipilih oleh pimpinan daerah dari para peserta kadas, sehingga setiap rombongan mencapai jumlah kurang lebih 30 orang, yang datang dan beberapa daerah juga.
Kemudian, setelah jumlah kader kasebul (Kas) mencu­kupi, peserta—peserta kadas dipilih dan dilatih oleh para alumni Kas sendiri.

Kasebul

Pengikut kaderisasi sebulan diambil dari mereka yang telah lulus mengikuti kadas dan tinggal di seputar pusat kota universitas. Di samping pendidikan kader, mereka akan memperoleh berbagai macam kuliah oleh narasum­ber yang berbeda. Pada satu hari bisa dikumpulkan kurang lebih 20 orang calon pengajar. Para pengajar memilih dari daftar mata kuliah yang ada di papan tulis. Karena ragu-ragu, saya ditunjuk oleh Romo Beek sendiri untuk mengajar masalah kepantaian. Sekali saya memberi cera­mah pada World Youth Movement, “Follow-up to Cadre Training “, dan menulis “Indonesian Catholicism” dalam jurnal Manna yang diterbitkan oleh Melbourne University atas permintaan Romo Beek untuk kepentingan perkenal­an.
Saya mengerti tentang kerasnya disiplin yang dituntut dari para kader. Pada suatu hari ada seorang kemenakan saya, seorang gadis, yang sudah selesai latihan kase­bul dengan nilai terbaik. Tetapi, pada malam terakhir dia diketahui Romo Beek keluar kamar. Dia langsung dipanggil dan dinyatakan keluar dan harus segera pulang  pada pagi harinya. Romo Beek kemudian minta maaf kepada saya tentang kejadian itu. Saya hanya menjawab: “Dia sudah Romo keluarkan, ya sudah!”

Dalam kaderisasi Romo Beek, tidak ditentukan akan menjadi apa para kader nantinya. Mereka akan diperlu­kan dalam segala bidang kehidupan di masyarakat. Yang penting adalah keyakinan imannya dan keahlian dalam bidangnya sendiri.

Tetapi, kader macam apa yang diimpikan oleh Romo Beek? Bukan sekadar kader Katolik! Bukan kader Beek! Bukan kader PMKRI! Bukan pula kader CSIS! Bukan kader Kongregasi Maria! Bukan kader Pemuda Katolik. Yang dicari oleh Romo Beek adalah kader PANCASILAIS!

“Evaluasi”

Di samping kaderisasi, Romo Beek juga mengadakan diskusi setiap Jumat malam di tempat-tempat yang ber­beda: di Keuskupan, di Gedung KWI, di salah satu gedung sekolah Katolik, dsb. untuk membahas masalah-masalah aktual di antara para pengajar kasebul, para kader, para pastor, bahkan Bapak Uskup Djojoseputro, dan para tokoh politik Katolik. Paginya oleh Romo Beek ditulis selebaran Evaluasi yang kebanyakan hanya satu lembar untuk mengupas masalah-masalah aktual dan pendirian nasional dan Katolik sebagai hasil pertemuan malam sebelumnya.

Selebaran-selebaran itu dikirimkan ke berbagai pihak, termasuk surat kabar. Bahkan, isinya satu-dua kali dimuat di Majalah Times. Yang menulis evaluasi itu terutama adalah Romo Beek sendiri, tetapi sering juga ditulis oleh Sdr Oetoro, atau saya sendiri, atau teman yang lain, seperti Sdr Haksoro dan Sdr Kajat Hartoyo (keduanya Almarhum). Tetapi, semuanya pasti diperiksa oleh Romo Beek sendi­ri.

Untuk beberapa waktu, saya juga menulis beberapa lembar ulasan politik dengan tambahan ulasan ekonomi oleh adik saya Soedradjad untuk konsumsi luar negeri. Ulasan itu ditulis dalam bahasa Inggns dan dinamai Monthly Review. Tidak lama kemudian, saya berhenti sama sekali bekerja untuk Romo Beek, karena kaderisasi akan segera diakhiri oleh Jenderal Yesuit Arupe dengan alasan yang tidak jelas.

Kami membujuk Romo Beek agar menentang perintah Arupe, tetapi Romo Beek berpendirian, bahwa dia seorang pastor, yang “di depan umum ketika ditahbiskan sebagai imam saya bersumpah untuk setia pada atasan. Kalian akan menyesal di kemudian hari kalau saya me­nuruti kehendak kalian”. Tak lama setelah itu, saya menutup kantor “Biro Dokumentasi” atas nama Romo Beek. Tetapi, kasebul tidak bisa berhenti mcndadák, jadi tetap berjalan terus untuk sementara.

Beberapa waktu sebelum “Biro Dokumentasi” tutup, saya bekerja sebagai Sekretaris, dan kemudian Direktur Eksekutif Center for Stra­tegic and International Studies (CSIS) menggantikan Sdr Mingky yang pergi ke Rand Corporation untuk studi PhD. Karena sesuatu hal saya meletakkan jabatan, dan pergi ke London untuk meneruskan belajar di London School of Economics and Political Science (LSE) atas bantuan Jenderal All Murtopo, Ketua Kehormatan CSIS.

Sekembali saya dari Inggris lima tahun kemudian dan setelah meraih gelar PhD, saya dapati Romo Beek sakit parah. Saya sempat menemani Romo Beek sehari di Rumah Sakit St Carolus bersama istri saya, Vonny. Sakit liver yang lama dideritanya semakin parah. Keesokan harinya saya pamit pada Romo Beek, bahwa saya harus ke Amerika Serikat selama sebulan. Jawaban Romo Beek, “Balk, kamu pergi dulu ke Amerika, sebentar lagi saya pasti akan menerima “penyelesaian dari Tuhan”.” Ia tertawa sambil menggerakkan kepal­an tangannya ke arah perut saya. Kegembiraan dan rasa optimis tetap menjadi ciri Romo Beek, walau di benak saya sudah membayangkan hal yang paling buruk.

Mengisi kekosongan

Kaderisasi Romo Beek berhenti beberapa waktu. Setelah diganti­kan oleh Romo Lukas SJ, dan tempat pertemuan dipindah ke Lam­pung, saya kerap kali mengadakan diskusi dengan para alumni kase­bul di Yogyakarta dan Solo, juga di Bandung, Purwokerto, Malang, Surabaya, Semarang, Manado, dan tempat-tempat lainnya untuk refreshing dan memelihara momentum. Saya masih tetap akrab dan terus kontak dengan Romo Lukas walau saya tidak lagi mengajar, karena kami dijiwai oleh semangat yang sama, “Semangat Romo Beek”.

Sumber : Majalah HIDUP No. 38 – 21 September 2008

No comments:

Post a Comment