Dalam
rangka memperingati dua puluh lima tahun meninggalnya Romo Joseph Beek
SJ (1917-1983), ada rencana menerbitkan beberapa tulisan mengenai
beliau dan karya-karyanya.
Tulisan
di bawah mi dimaksudkan untuk melengkapi apa yang saya mengerti dan
saya ingat sebagai pelaksanaan praktis proses kaderisasi oleh Romo
Beek.
Kader: Binatang macam apa itu?
Dalam sejarah, apa yang disebut “kader”, kata dalam bahasa Perancis cadre, mengacu
pada staf pimpinan permanen pada suatu pusat latihan militer yang
melatih para calon pasukan. Dengan begitu, mereka dapat membentuk
satuan-satuan baru. Dengan kata lain, cadre merupakan
korps militer profesional yang dipelihara dalam masa damai sebagai
basis militer yang diperlukan dalam masa peperangan. Pada zaman itu,
sebelum mapannya negara-bangsa, negara
tidak memiliki tentara nasional yang permanen, melainkan membentuk
tentara bayaran yang bersifat kosmopolitan, dalam arti dan kebangsaan
apa pun, untuk keperluan peperangan. Tetapi, pasukan tentara seperti
itu dibubarkan setelah perang usai karena mahal pemeliharaannya.
Awal keterlibatan
Saya
berangkat ke Selandia Baru untuk mengikuti kursus menjadi guru bahasa
Inggris di Victoria University di Wellington tahun 1961 dengan syarat
dan pemerintah Indonesia waktu itu, bahwa sekembali saya ke Tanah Air
saya harus menjadi pegawai negeri. Saya berhasil lulus dengan nilai
terbaik dan mendapatkan tawaran beasiswa untuk mencapai BA di
Universitas Otago, Dunedin. Di situ saya mengambil Political Science dan
Bahasa Russia dan berhasil mencapai gelar BA. Tahun 1966, dalam
perjalanan pulang ke Indonesia, saya mampir di Kedutaan Indonesia di
Australia dan mengatakan bahwa saya tidak akan memenuhi janji saya untuk
menjadi pegawai negeri. Jawaban yang saya peroleh membesarkan hati
saya. Mereka berkata: “Saudara sudah terlalu lama di luar negeri. Orang
di Jakarta sudah lupa tentang syarat itu!”
Oleh
karenanya, satu dua hari sekembali saya dari New Zealand, saya diantar
oleh adik saya Soedradjad untuk dikenalkan pada Saudara J.B. Oetoro
untuk bersama dia menemui Romo Beek di kantornya di Jl Gunung Sahari 88.
Saya ingin bergabung dalam proyek Romo Beek.
Kadas
Sebelum kaderisasi sebulan (kasebul) dimulai, terlebih dahulu diadakan kaderisasi dasar (kadas) dalam
waktu seminggu, yang dihadiri oleh kurang lebih 20 orang, dari pelbagai
kota ini dipimpin oleh Romo Beek sendiri dengan beberapa~orang. Saya
memimpin kadas sendiri
beberapa kali, di Bogor dengan tiga orang termasuk Seorang pastor, dan
di Semarang dengan seorang teman (Almarhum Saudara Haksoro) ditemani
oleh pastor paroki.
Materi kadas meliputi masalah-masalah dasar seperti demokrasi, ormas, dan orpol. Peserta-peserta kasebul dipilih oleh pimpinan daerah dari para peserta kadas, sehingga setiap rombongan mencapai jumlah kurang lebih 30 orang, yang datang dan beberapa daerah juga.
Kemudian, setelah jumlah kader kasebul (Kas) mencukupi, peserta—peserta kadas dipilih dan dilatih oleh para alumni Kas sendiri.
Kasebul
Pengikut
kaderisasi sebulan diambil dari mereka yang telah lulus mengikuti kadas
dan tinggal di seputar pusat kota universitas. Di samping pendidikan
kader, mereka akan memperoleh berbagai macam kuliah oleh narasumber
yang berbeda. Pada satu hari bisa dikumpulkan kurang lebih 20 orang
calon pengajar. Para pengajar memilih dari daftar mata kuliah yang ada
di papan tulis. Karena ragu-ragu, saya ditunjuk oleh Romo Beek sendiri
untuk mengajar masalah kepantaian. Sekali saya memberi ceramah pada World Youth Movement, “Follow-up to Cadre Training “, dan menulis “Indonesian Catholicism” dalam jurnal Manna yang diterbitkan oleh Melbourne University atas permintaan Romo Beek untuk kepentingan perkenalan.
Saya
mengerti tentang kerasnya disiplin yang dituntut dari para kader. Pada
suatu hari ada seorang kemenakan saya, seorang gadis, yang sudah selesai
latihan kasebul dengan nilai terbaik. Tetapi, pada malam terakhir dia
diketahui Romo Beek keluar kamar. Dia langsung dipanggil dan dinyatakan
keluar dan harus segera pulang pada
pagi harinya. Romo Beek kemudian minta maaf kepada saya tentang
kejadian itu. Saya hanya menjawab: “Dia sudah Romo keluarkan, ya sudah!”
Dalam
kaderisasi Romo Beek, tidak ditentukan akan menjadi apa para kader
nantinya. Mereka akan diperlukan dalam segala bidang kehidupan di
masyarakat. Yang penting adalah keyakinan imannya dan keahlian dalam
bidangnya sendiri.
Tetapi,
kader macam apa yang diimpikan oleh Romo Beek? Bukan sekadar kader
Katolik! Bukan kader Beek! Bukan kader PMKRI! Bukan pula kader CSIS!
Bukan kader Kongregasi Maria! Bukan kader Pemuda Katolik. Yang dicari
oleh Romo Beek adalah kader PANCASILAIS!
“Evaluasi”
Di
samping kaderisasi, Romo Beek juga mengadakan diskusi setiap Jumat
malam di tempat-tempat yang berbeda: di Keuskupan, di Gedung KWI, di
salah satu gedung sekolah Katolik, dsb. untuk membahas masalah-masalah
aktual di antara para pengajar kasebul, para
kader, para pastor, bahkan Bapak Uskup Djojoseputro, dan para tokoh
politik Katolik. Paginya oleh Romo Beek ditulis selebaran Evaluasi yang
kebanyakan hanya satu lembar untuk mengupas masalah-masalah aktual dan
pendirian nasional dan Katolik sebagai hasil pertemuan malam sebelumnya.
Selebaran-selebaran itu dikirimkan ke berbagai pihak, termasuk surat kabar. Bahkan, isinya satu-dua kali dimuat di Majalah Times. Yang
menulis evaluasi itu terutama adalah Romo Beek sendiri, tetapi sering
juga ditulis oleh Sdr Oetoro, atau saya sendiri, atau teman yang lain,
seperti Sdr Haksoro dan Sdr Kajat Hartoyo (keduanya Almarhum). Tetapi,
semuanya pasti diperiksa oleh Romo Beek sendiri.
Untuk
beberapa waktu, saya juga menulis beberapa lembar ulasan politik dengan
tambahan ulasan ekonomi oleh adik saya Soedradjad untuk konsumsi luar
negeri. Ulasan itu ditulis dalam bahasa Inggns dan dinamai Monthly Review. Tidak
lama kemudian, saya berhenti sama sekali bekerja untuk Romo Beek,
karena kaderisasi akan segera diakhiri oleh Jenderal Yesuit Arupe dengan
alasan yang tidak jelas.
Kami
membujuk Romo Beek agar menentang perintah Arupe, tetapi Romo Beek
berpendirian, bahwa dia seorang pastor, yang “di depan umum ketika
ditahbiskan sebagai imam saya bersumpah untuk setia pada atasan. Kalian
akan menyesal di kemudian hari kalau saya menuruti kehendak kalian”.
Tak lama setelah itu, saya menutup kantor “Biro Dokumentasi” atas nama
Romo Beek. Tetapi, kasebul tidak bisa berhenti mcndadák, jadi tetap berjalan terus untuk sementara.
Beberapa waktu sebelum “Biro Dokumentasi” tutup, saya bekerja sebagai Sekretaris, dan kemudian Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS)
menggantikan Sdr Mingky yang pergi ke Rand Corporation untuk studi PhD.
Karena sesuatu hal saya meletakkan jabatan, dan pergi ke London untuk
meneruskan belajar di London School of Economics and Political Science (LSE) atas bantuan Jenderal All Murtopo, Ketua Kehormatan CSIS. –
Sekembali
saya dari Inggris lima tahun kemudian dan setelah meraih gelar PhD,
saya dapati Romo Beek sakit parah. Saya sempat menemani Romo Beek sehari
di Rumah Sakit St Carolus bersama istri saya, Vonny. Sakit liver yang
lama dideritanya semakin parah. Keesokan harinya saya pamit pada Romo
Beek, bahwa saya harus ke Amerika Serikat selama sebulan. Jawaban Romo
Beek, “Balk, kamu pergi dulu ke Amerika, sebentar lagi saya pasti akan
menerima “penyelesaian dari Tuhan”.” Ia tertawa sambil menggerakkan
kepalan tangannya ke arah perut saya. Kegembiraan dan rasa optimis
tetap menjadi ciri Romo Beek, walau di benak saya sudah membayangkan hal
yang paling buruk.
Mengisi kekosongan
Kaderisasi
Romo Beek berhenti beberapa waktu. Setelah digantikan oleh Romo Lukas
SJ, dan tempat pertemuan dipindah ke Lampung, saya kerap kali
mengadakan diskusi dengan para alumni kasebul di Yogyakarta dan Solo, juga di Bandung, Purwokerto, Malang, Surabaya, Semarang, Manado, dan tempat-tempat lainnya untuk refreshing dan
memelihara momentum. Saya masih tetap akrab dan terus kontak dengan
Romo Lukas walau saya tidak lagi mengajar, karena kami dijiwai oleh
semangat yang sama, “Semangat Romo Beek”.
No comments:
Post a Comment